Artikel ini awalnya terbit di medium.com tanggal 8 Oktober 2018.
Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Executive Director Oil World Thomas Mielke mengimbau agar para produsen utama minyak sawit saling bekerja sama dan mengirimkan pesan bahwa minyak sawit dapat diproduksi secara berkelanjutan, khususnya pada waktu ketika di berbagai negara muncul penolakan terhadap minyak sawit seperti sekarang ini.
Sebagai salah seorang yang mendorong pertumbuhan perdagangan kelapa sawit di Indonesia, saya mengetahui secara langsung stigma yang muncul akibat kurangnya informasi mengenai budidaya kelapa sawit yang bertanggung jawab dan pengaruhnya terhadap perekonomian nasional. Stigma tersebut menjadi inspirasi bagi kampanye Extraordinary Everyday, di mana Perusahaan berupaya melawan stigma dengan menyediakan informasi berbasis fakta yang mudah dipahami terkait bisnis minyak sawitnya kepada konsumen.
Pergeseran pola minyak sawit: Dari tanaman impor era kolonial ke penggerak utama roda ekonomi
Berasal dari Afrika, kelapa sawit dibawa ke Malaysia dan Indonesia pada masa kolonial, di mana kondisi iklim di kedua negara itu cocok untuk pertumbuhan kelapa sawit. Dewasa ini, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan menyumbang 53% dari produksi minyak sawit dunia[1], sehingga menunjukkan dorongan pertumbuhan yang kuat bagi negara yang bergantung pada sektor pertanian. Secara rata-rata, kelapa sawit menghasilkan sekitar 4 ton minyak per hektar, yang menurut perhitungan kasar masing-masing 5x, 8x, dan 10x lebih besar dibanding produktivitas minyak rapa, minyak bunga matahari, dan minyak kedelai. Tapi tidak seperti jenis minyak lain, minyak sawit membutuhkan lahan 10 kali lebih sedikit untuk menghasilkan minyak dalam jumlah yang sama [2] sehingga menjadikannya minyak nabati paling serbaguna dan berproduktivitas tinggi. Efesiensi dan kondisi iklim yang sesuai memberikan kesempatan sempurna bagi Indonesia untuk memanfaatkan produksi minyak sawit sebagai pilar yang menyokong pertumbuhan ekonomi nasional.
Orang sering terkejut ketika mengetahui bahwa industri minyak sawit Indonesia, yang berkontribusi 1,5-2,5% pada produk domestik bruto (PDB)[3], tidak didominasi oleh perusahaan besar, melainkan petani yang memiliki lebih dari 40% perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Minyak sawit menyediakan lapangan kerja bagi sekitar empat juta orang secara langsung dan 12 juta orang secara tidak langsung di berbagai bagian rantai pasok, dari petani dan pekerja pabrik sampai insinyur dan tenaga pemasaran. Hal ini menjelaskan mengapa industri minyak sawit merupakan penggerak perekonomian yang penting bagi negara, dan upaya keberlanjutannya telah menjadi agenda yang mendesak bagi pemerintah, petani, perusahaan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Namun, petani kelapa sawit lokal yang terdiri dari unsur yang banyak, beragam, dan rumit menyebabkan munculnya kesulitan dalam mengelola proses perkebunan dan penjaminan kualitas produk. Hal ini sering terjadi pada petani swadaya yang sudah sejak lama mengelola tanaman dengan sedikit atau bahkan tanpa pelatihan atau pengawasan sama sekali. Sebagian besar dari mereka terbiasa dengan metode pertanian lama yang menggunakan bahan kimia berlebih, pupuk kimia, dan metode “tebang dan bakar” untuk membuka lahan, dibanding investasi dalam penanaman kembali dan meminimalkan dampak lingkungan. Hal ini menyebabkan hasil panen yang lebih rendah, kerja kasar yang sulit, dan kualitas tanah yang memburuk mewarnai pandangan tentang minyak sawit.
Membalikkan stigma: Upaya berkelanjutan GAR

Menyadari kerusakan yang turut dipicu praktik pertanian lama, GAR telah berinisiatif dan mengambil intervensi aktif untuk mengatasi persoalan ini. Contohnya adalah konservasi hutan; GAR adalah salah satu perusahaan besar agrobisnis pertama di dunia yang menerbitkan Kebijakan Konservasi Hutan (KKH) bekerja sama dengan The Forest Trust (TFT). Sejak itu, GAR telah menilai area konsesinya dan memetakan lahan seluas 72.000 hektar (setara dengan luas wilayah Singapura) sebagai lahan konservasi. Hal ini membantu Perusahaan mengelola hutan secara berkelanjutan dan menghentikan laju hilangnya keanekaragaman hayati. Selain itu, perusahaan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memantau deforestasi di seluruh kawasan perkebunan, misalnya pemantauan berbasis satelit dan teknologi radar.
GAR berkomitmen penuh untuk membangun rantai pasok yang sepenuhnya dapat ditelusuri dan transparan. Rantai pasok perkebunan secara umum bersifat kompleks dan melibatkan banyak pemangku kepentingan. Untuk mengatasi hal ini, GAR melakukan pemetaan petani kelapa sawit sehingga Perusahaan dapat menjamin sumber pengadaan bahan baku kepada pelanggan dan memastikan penerapan praktik produksi minyak sawit yang bertanggung jawab secara berkesinambungan. Selain itu, tim rantai pasok Perusahaan mengunjungi para pemasok di seluruh Indonesia setiap minggu untuk meninjau kepatuhan dan menganalisis hasil dengan ketat, serta merancang strategi dukungan dan intervensi yang tepat. Upaya melibatkan peran pemangku kepentingan yang dilakukan secara ketat dan sering telah mendorong tercapainya 100% Kemamputelusuran ke Perkebunan (Traceability to Plantation/TTP) untuk semua pabrik kelapa sawit (PKS) milik GAR. Target Perusahaan kini adalah mencapai 100% TTP untuk semua PKS pada tahun 2020.
Keberlanjutan untuk komunitas yang lebih luas
Di GAR, kami percaya bahwa keberlanjutan harus diterapkan di seluruh praktik perkebunan, bukan hanya untuk minyak kelapa sawit. Setiap petani, di mana pun dia bekerja dan apa pun yang dia tanam, berhak untuk mempelajari teknik pertanian modern dan menikmati penghasilan lebih tinggi sekaligus mengurangi dampak lingkungan hidup. Itulah sebabnya Perusahaan berusaha mendukung komunitas petani di sekitar perkebunan. Contohnya adalah Pak Yatimin, yang telah menerima pelatihan teknik pertanian terpadu dalam program Desa Makmur Peduli Api (DMPA), dan mulai menggunakan pupuk organik alih-alih membuka lahan dengan cara membakar. Sejak itu, beliau dapat meningkatkan hasil panen dari lahannya dan penghasilan bulanan pun meningkat dari Rp 1 juta menjadi Rp 2,5 juta.
Perusahaan berusaha keras untuk menjamin keamanan, keterjangkauan, dan kualitas produk minyak sawit di berbagai tahap perjalanannya. Perjalanan ini – dari perkebunan sampai produk jadi – juga memungkinkan GAR untuk menciptakan peluang kerja di sepanjang rantai nilai. Contohnya adalah Punjung, salah satu dari 80 ahli teknologi pangan di GAR, yang bekerja untuk memformulasikan ulang produk dengan menghapus semua asam lemak trans dalam produk minyak sawit. Pekerjaannya dapat mengubah nilai gizi produk minyak sawit bagian hilir seperti margarin dan mentega. Dengan peningkatan industri produk hilir, GAR dapat memberikan nilai tambah minyak sawit bagi rumah tangga Indonesia sehingga dapat mendukung kemajuan perekonomian nasional.
Bagi banyak orang Indonesia, minyak sawit tidak hanya penting, tapi telah menjadi kebutuhan dasar. Bagi negara, minyak sawit adalah komoditas yang sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi. GAR pun memahami kebutuhan sosial dan peluang komersial dalam mendukung petani untuk membudidayakan kelapa sawit dengan produktivitas lebih tinggi dan dampak lingkungan lebih kecil – sebuah fakta yang ingin dibagikan Perusahaan bersama lebih banyak orang. Kami juga percaya bahwa keberlanjutan hanya dapat dicapai apabila terdapat keseimbangan antara peluang ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Dan Perusahaan berharap dapat mewujudkannya untuk petani lokal, serta generasi yang akan datang.
Jika Anda ingin mempelajari lebih lanjut tentang komitmen Sinar Mas Agribusiness and Food terhadap produksi minyak sawit yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, Anda dapat mengakses laporan keberlanjutan terbaru kami di sini.
Tentang penulis: J. Joelianto, Trading Director Sinar Mas Agribusiness and Food, entitas dari grup perusahaan Golden Agri-Resources (GAR).
[1] Produksi Minyak Sawit Dunia
[2] Mengapa Minyak Sawit Penting
[3] Minyak Sawit di Indonesia