Dalam seri Postcards from the Field kali ini, Clairie menghabiskan hari terakhir kunjungannya di fasilitas pusat tangkapan gas metana
Lelah dengan semua petualangan ilmiah di SMARTRI, kami kembali ke mobil yang membawa kami balik ke mes untuk makan siang. Saya dijadwalkan terbang kembali ke Jakarta petang itu. Merasakan pengalaman berkendara di dalam mobil yang melaju di atas jalan bergelombang adalah bagian dari setiap kunjungan lapangan. Tetapi presentasi penuh wawasan dan cerita yang diungkapkan oleh orang-orang lapangan membuat sedikit ketidaknyamanan itu kecil artinya dibanding besarnya gairah mengabdi dan kecintaan pada profesi yang mereka miliki. Saya sangat terkesan oleh sambutan keramahan yang hangat khas Indonesia, semangat, dan juga kerendahan hati yang bersumber dari begitu dalamnya hubungan orang-orang itu dengan tanah mereka. Ketika mendengar istilah “minyak sawit”, sulit untuk tidak membayangkan gambar mengerikan orangutan yang mati, hutan yang terbakar menghitam,dan kaki langit di kawasan perkotaan yang berselimut kabut asap. Namun setelah semua yang saya lihat sejauh ini, saya bertanya-tanya apakah kita sudah memberikan penghargaan yang setimpal pada kerja nyata yang dilakukan di lapangan.
Hal utama yang perlu diperhatikan mengenai fasilitas tangkapan metana adalah aromanya sangat tajam. Kami berkeliling di sekitar fasilitas tersebut dan naik ke atas untuk melihat air limbah yang diolah untuk menghasilkan gas metana. Gas metana dihasilkan dari aktivitas bakteri dan dimanfaatkan Sinar Mas Agribusiness and Food sebagai energi untuk menggerakkan proses pemurnian hilir lainnya. Melihat ke kolam limbah berwarna cokelat di bawah, saya bergidik dan berkomentar betapa mengerikannya jika kita terjatuh ke kolam itu. Saya diberitahu bahwa saya akan langsung mati keracunan metana dan hal itu membuat saya lebih berhati-hati dalam melangkah.
Perhentian terakhir kami adalah pabrik pengolahan sawit tempat semua TBS dari kebun pada akhirnya berkumpul. Pabrik kelapa sawit ini, sebagaimana fasilitas tangkapan gas metana, juga beraroma menyengat. Perbedaannya, di sini bau itu anehnya mengingatkan saya pada aroma ubi jalar panggang. Dengan kesan aneh itu, saya berjalan mengikuti pemandu yang mengantar saya berkeliling menjelajahi pabrik.

Pabrik itu seperti latar yang sangat luas untuk pengambilan gambar film beraliran steam punk. Pertama-tama, TBS yang diterima disterilkan dalam air panas, kemudian minyak sawit mentah (CPO) diperas keluar dari mesokarp berwarna oranye dengan tekanan yang cukup kuat untuk mengekstrak minyak, tetapi tidak terlalu kuat hingga menghancurkan cangkang sawit. Setelah CPO diekstrak, cangkang sawit dilumatkan untuk mengekstrak minyak inti sawit di dalamnya. Mengamati drum-drum logam berukuran besar yang berisikan TBS yang baru diolah terangkat rantai katrol untuk dibawa ke tempat di mana proses berikutnya dilakukan,
Di luar pabrik terdapat tumpukan residu inti sawit berwarna cokelat. Tumpukan itu adalah sekam inti sawit yang kering, bersih,dan begitu melimpah, gundukannya sangat tinggi hingga menyerupai bukit-bukit kecil. Melihat timbunan sekam cokelat itu, orang mungkin mengira itu adalah onggokan limbah. Tetapi Pak Gotz tersenyum sambil mengambil segenggam sekam agar saya bisa melihat lebih dekat, “Semua ini dibakar untuk energi juga”. Sekali lagi, mata saya terbuka pada indahnya putaran siklus minyak sawit berkelanjutan. Kini, tidak lagi berlaku inputproses output yang bersifat linear, namun alur melingkar di mana output didaur ulang untuk menciptakan lebih banyak input.
Bergabunglah bersama Clairie dalam seri terakhir perjalanannya saat ia merenungkan hal-hal yang telah ia pelajari.