Minggu lalu saya menulis tentang laporan Morgan Stanley yang menyarankan investor untuk melihat harga saham GAR dari perspektif keberlanjutan – Morgan Stanley merekomendasikan pembelian saham GAR berkat peningkatan yang telah dihasilkan selama beberapa tahun terakhir untuk produksi kelapa sawit berkelanjutan.
Dua perkembangan lain yang saya temukan mendorong saya untuk kembali merenungkan bahwa keberlanjutan semakin membawa dampak finansial dan ekonomi yang nyata bagi perusahaan.
Pertama adalah laporan RSPO yang berjudul “Correlating Economic and Financial Viability with Sustainability for Palm Oil Plantations,” dan yang kedua adalah sebuah sesi yang membahas Pembiayaan Bertanggung Jawab dalam Third Singapore Dialogue Sutainable World Resources yang diselenggarakan oleh Singapore Institute of International Affairs (SIIA).
Meskipun banyak perusahaan kelapa sawit besar telah mengadopsi kebijakan keberlanjutan dalam beberapa tahun terakhir, masih ada persepsi melekat yang menyatakan bahwa keberlanjutan adalah pengeluaran yang sia-sia dan tidak menambah keuntungan perusahaan terutama untuk perusahaan kecil. Selama persepsi ini masih hidup, perusahaan akan kesulitan mencari alasan untuk menginvestasikan sumber daya tambahan bagi produksi sawit berkelanjutan, termasuk memastikan pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab, mengurangi penggunaan pestisida beracun, dan memastikan bahwa kepentingan masyarakat benar-benar terjaga selama pengembangan perkebunan kelapa sawit. Jangan salah, melaksanakan praktik sosial dan lingkungan yang bertanggung jawab tidaklah murah.
Namun semakin banyak bukti yang menunjukkan keberhasilan penerapan praktik yang bertanggung jawab dapat mematahkan pendapat ini.
Menurut Dr Steffen Preusser yang mempelajari 34 perusahaan kelapa sawit untuk laporan RSPO, perusahaan-perusahaan yang memiliki porsi perkebunan bersertifikasi RSPO lebih besar mampu menetapkan harga yang lebih tinggi untuk produk mereka. Menggunakan data tahun 2014, Dr. Preusser menemukan bahwa lebih dari 40 persen dari lahan bersertifikasi RSPO mampu memperoleh MYR158 (USD40) lebih tinggi per metrik ton. Bahkan ia menyimpulkan bahwa setiap MYR1 yang diinvestasikan untuk memenuhi standar sertifikasi RSPO mampu menghasilkan tambahan pendapatan sebesar MYR1,50. Peningkatan pendapatan sebesar satu setengah kali yang bisa dihubungkan pada pemenuhan standar keberlanjutan harus menjadi indikator yang menggembirakan terutama bagi perusahaan masih meragukan apakah biaya penerapan praktik-praktik berkelanjutan tersebut benar-benar setimpal.

Sejauh ini kami telah melihat upaya keberlanjutan dalam kaitannya dengan valuasi harga saham dan keberlanjutan serta kaitannya dengan profitabilitas. Aspek ketiga adalah keberlanjutan dalam kaitannya dengan Pembiayaan Bertanggung Jawab dan kemampuan memperoleh kredit.
Association of Banks in Singapore (Asosiasi Bank Singapura) mengeluarkan serangkaian Pedoman Pembiayaan Bertanggung Jawab tahun lalu. Berdasarkan pedoman ini, bank-bank di Singapura diharapkan untuk mempublikasikan kerangka kerja kebijakan mereka untuk pembiayaan yang bertanggung jawab. Artinya mereka harus memperhatikan masalah Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) dalam mempertimbangkan perpanjangan kredit. Tidak mengherankan, pedoman ini muncul ketika Singapura akan mengeluarkan Transboundary Haze Pollution Act (Undang-Undang Polusi Kabut Asap Lintas Batas) yang dikeluarkan pada tahun 2014 dan protes publik atas dampak kabut asap di tahun 2015.
Dengan industri pertanian sebagai sektor yang disorot oleh ABS sebagai sektor yang berisiko lebih tinggi berarti bahwa kinerja Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola dari perusahaan kelapa sawit yang mencoba untuk mendapatkan pinjaman akan diawasi dengan lebih ketat dan mungkin akan kalah dengan perusahaan lain jika bermasalah dalam bidang tersebut.
Terakhir, SGX (Bursa Efek Singapura) akan mewajibkan semua perusahaan terdaftar Singapura untuk menerbitkan Laporan Keberlanjutan yang akan dimulai sejak akhir pembukuan di 2017. SGX menyatakan bahwa berdasarkan survei terhadap investor institusi yang dilakukan pada pertengahan 2015 menunjukkan bahwa 90 persen responden mempertimbangkan faktor Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola dalam membuat keputusan investasi.
Konsep keberlanjutan jelas merambah sebagai bahan yang dipertimbangkan oleh lembaga keuangan dan investor dan sepertinya akan tetap menjadi bagian pertimbangan. Garis besarnya adalah bahwa penerapan praktik yang bertanggung jawab dan berkelanjutan merupakan hal penting dan berpotensi memengaruhi kelangsungan keuangan perusahaan. Dan potensi ini akan berkembang seiring berjalannya waktu.