Saat ini kita hidup di era digital di mana komputer dan gawai (gadget) merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sejak usia dini, anak-anak telah terpapar teknologi dan membetuk persepsi mereka tentang dunia yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Teklonogi juga mempengaruhi mereka dalam merencanakan masa depan termasuk karier.
Anak muda di Indonesia bahkan di dunia saat ini kurang memiliki ketertarikan untuk bekerja di bidang pertanian. Meskipun kegiatan pertanian menjadi kontributor utama bagi negara ini, bidang pertanian menjadi kurang menarik dibandingkan bekerja di tengah perkotaan karena adanya kesan bahwa menjadi petani bukanlah pekerjaan yang bergengsi.

Wiwi Cusmiarti dan Masfufah adalah guru di SMP 10 Satu Atap Nanga Tayap dan SDN 25 Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Mereka berusaha menjadikan pertanian populer kembali di kalangan kaum muda di komunitas mereka dan menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang ditanamkan melalui kegiatan pertanian.
Memperkenalkan pertanian ekologis terpadu (PET)
Berdasarkan pengalaman mereka sendiri saat belajar mengenai Pertanian Ekologis Terpadu (PET) di bawah bimbingan Sinar Mas Agribusiness and Food, kedua guru ini memutuskan untuk membagikan apa yang telah mereka pelajari kepada para siswa agar mereka melihat kemungkinan positif dalam bertani.
Apa itu Pertanian Ekologis Terpadu (PET)?
Program PET adalah bagian dari program Desa Makmur Peduli Api (DMPA) Sinar Mas Agribusiness and Food yang bertujuan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan di masyarakat melalui penyediaan alat dan pendampingan masyarakat. PET membantu masyarakat mencapai swasembada pangan, mendapatkan penghasilan tambahan serta meningkatkan kesadaran tentang metode pertanian alternatif tanpa menggunakan api.
Wiwi dan Masfufah merupakan anggota PET yang telah berlangsung di Desa Simpang Tiga Sembelangaan, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang pada 2018. Didampingi oleh seroang petani pendamping yang diperbantukan oleh pihak Sinar Mas Agribusiness and Food, mereka belajar ketrampilan teknis dalam pertanian ekologis (ramah lingkungan) seperti membuat kompos padat dan cair, penyemaian, perawatan dan pengendalian hama. Selama belajar bersama anggota kelompok PET yang lain, Wiwi dan Masfufah juga mendapatkan perspektif baru bahwa membakar lahan untuk pertanian tidak mendatangkan manfaat baik dari sisi ekonomi, kesehatan, lingkungan atau sosial kepada petani. Pengalaman inilah yang dibagikan oleh kedua guru tersebut kepada anak didik mereka di sekolah.

“Sejak kami mengajarkan PET, terdapat perubahan persepektif dan pola pikir anak didik kami mengenai pertanian. Mereka sangat antusias setiap kami memberikan pelajaran PET kepada mereka karena mereka tidak hanya belajar teori tetapi juga praktik langsung di lapangan. Kami juga mendapatkan pendampingan langsung dari seorang tenaga ahli yang siap untuk membagikan ilmunya kepada anak-anak tentang PET. Saat ini beberapa siswa juga telah tertarik untuk mengembangkan pertanian ramah lingkungan di desa mereka, ”jelas Wiwi.

Manfaat jangka panjang
Selain manfaat langsung yang dapat dirasakan dari sisi lingkungan, Wiwi juga percaya bahwa pertanian dapat menjaga nilai-nilai luhur masyarakat tetap hidup di masyarakat seperti “gotong royong”. Melalui bekerja sama saling bahu membahu selama proses penanaman dan pemanenan, para siswa didorong untuk menjadi kelompok yang produktif serta mendapatkan manfaatkan dari kerja sama yang mereka lakukan.

Wiwi dan Masfufah berharap bahwa di masa depan, anak-anak akan lebih menyukai pertanian dan merangkulnya sebagai bagian dari identitas mereka. Membantu anak-anak mengenali dan menghargai identitas mereka sebagai masyarakat agraris menjadi penting agar komunitas pedesaan tetap hidup. Mereka percaya bahwa pendidikan menjadi salah satu cara paling efektif untuk menyalakan kembali gairah untuk bertani di dalam masyarakat, tentu dengan dukungan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah maupun sektor swasta.
Masfufah menambahkan, “Apa yang kita lakukan sekarang adalah langkah pertama, sehingga anak-anak dapat tumbuh tidak hanya sebagai generasi yang cerdas, tetapi juga memiliki karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur masyarakat setempat di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan, yaitu masyarakat agraris.