Pada seri tulisan kedua tentang upaya pemadaman kebakaran di PT Agrolestari Mandiri, kita mengetahui lebih lanjut tentang cara pengelolaan kebakaran di lahan gambut. Pada kondisi cuaca kering yang ekstrim, kebakaran di areal gambut sangat menantang dan paling sulit untuk dipadamkan. Untuk meminimalkan kerusakan akibat kebakaran, Manajer perkebunan, Haryadi, bersama pimpinan Tim Tanggap Darurat, Herman Teguh, menempuh langkah proaktif untuk menemukan cara memompa air dari sungai terdekat dan menyalurkannya ke daerah gambut untuk menjaga kelembabannya.
Baca artikel lengkapnya di bawah ini.
Di Balik Cerita Kebakaran Lahan PT Agrolestari Mandiri (bagian kedua)
suarapemred.co.id – 8 Oktober 2015
Suara mesin pompa air berkekuatan seribu meter kubik menderu di pinggir Sungai Kayong, Jumat siang, 2 Oktober 2015. Hari itu Suara Pemred bertemu dua petugas PT Agrolestari Mandiri di lokasi. Mereka mengaku mendapat giliran jaga mengoperasikan pompa air tetap stan by 24 jam.
Haryadi Manajer Kebun PT Agrolestari menyebutkan, pihak perusahaan sudah jauh hari menyiagakan mesin pompa air ini. Ada lima unit ditebar di lima titik. Dua Unit unit menyedot air sungai kemudian disedot kembali dengan pompa air yang lain.
“Mesin pompa air ini bersifat fortable,” tutur Haryadi.
Cara kerjanya sederhana. Mulanya pompa ini menyedot air sungai kemudian ditampung dalam areal penampungan. Begitu air di penampungan ini penuh, air kemudian air dengan sendirinya mengalir ke jalur kanal yang telah dibuat oleh perusahaan.
“Aliran air ini berfungsi membasahi areal kawasan lahan gambut yang rawan terbakar, ada 3, 5 kilometer jalur kanal dibuat,” tutur Haryadi. Dari pengakuan petugas jaga pompa air. Mereka bertugas mengoperasikan mesin pompa 20 jam. Tiap unit pompa dijaga empat orang. Mereka membagi shift. Dua orang siang dan dua orang malam.
Perlu diketahui, biaya operasi mesin pompa ini, satu jam menyedot solar sebanyak 7 liter. Di perusahaan ini ada lima unit mesin pompa yang beroperasi. Artinya, dalam satu jam saja, sekitar 140 liter solar terpakai untuk menyedot air. Itu belum termasuk biaya pembuatan kanal.
Warga sekitar tidak mempermasalahkan aktivitas perusahaan menyedot air sungai mereka. Maspawandi, Kepala Dusun Sui Durian mengatakan, aktivitas ini tidak hanya menguntungkan perusahaan tetapi juga warga sekitar.
“Air sungai yang mereka sedot itu untuk membasahi gambut agar tidak terbakar. Bayangkan kalau terbakar. Kampung kami juga ikut terbakar, karena lokasinya dekat dengan kawasan pemukiman,” tutur Maspawandi, hari itu berada di lokasi pompa air.
Upaya perusahaan melawan kebakaran lahan tidak sampai di situ. Jauh sebelum musim kemarau tiba saja, perusahaan ini bisa dibilang siap menghadapi kebakaran lahan. Kapolsek Nanga Tayap, AKP Imbang Sulistiyono mengatakan, sejauh ini munculnya titik api tidak bisa diprediksi. Seperti di Bukit Manangis, merupakan kawasan hutan lindung ikut terbakar.
Lokasinya sekitar 15 kilometer dari pusat desa. Di kawasan ini, petugas tampak pasrah. Selain medan yang sulit diakses dengan kendaraan, kawasan ini juga tidak bisa diterabas, lantaran statusnya masuk kawasan hutan lindung.
“Kepolisian dan PT Agrolestari sudah proaktif memadamkan api. Tapi musim kering dan lahan gambut yang mudah terbakar, api bisa muncul kapan saja,” tutur Imbang. Bisa karena faktor api yang terbawa angin, faktor kelalaian manusia, seperti membuang puntung rokok di areal gambut.
Ikin, warga Desa Sui Durian, Kecamatan Nanga Tayap mengaku pernah melihat aktivitas warga di kawasan hutan sedang membakar ikan. Sebelumnya mereka mencari ikan di sungai, memanfaatkan air sungai yang mengering. Sebagian hasil tangkapan di bawa pulang dan sisanya dibakar untuk dimakan.
“Mereka sempat kami tangkap untuk diberi peringatan agar tidak membakar ikan di kawasan hutan,” kata Ikin. Tapi setelah itu, sisa-sisa tungku pembakaran ikan sering terlihat di areal yang sama. (agus wahyuni)