Lahan gambut merupakan ekosistem unik yang terbentuk melalui akumulasi tumbuhan atau bahan organik yang sebagian membusuk dalam kondisi terendam air dan bersifat asam selama beribu-ribu tahun. Di dalam tanah gambut tersimpan karbon dalam jumlah luar biasa besar yang sangat penting bagi lingkungan, tetapi bisa sangat sulit dikelola. Jika tidak dikelola dengan baik, lahan gambut akan terdegradasi oleh paparan terhadap oksigen yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah gambut dan, karbon yang tersimpan akan memancar keluar sebagai gas rumah kaca (GRK). Saat kering, lahan gambut akan sangat rentan terhadap kebakaran.
Memahami dan meningkatkan jumlah karbon yang tersimpan dalam lahan gambut membutuhkan langkah pengelolaan yang cermat. Bahkan, hal tersebut pada kenyataannya dijadikan indikator kinerja utama dalam proyek rehabilitasi gambut yang dilaksanakan Perusahaan di PT Agro Lestari Mandiri yang berlokasi di Ketapang, Kalimantan Barat.

Bersama mitra kami South Pole Group, sebuah sistem pemantauan telah dirancang untuk mengukur dan melaporkan penambahan atau pengurangan karbon. Hilangnya karbon di tanah gambut dicegah dengan cara:
- Menjaga ketinggian air. Hasilnya adalah berkurangnya penguraian/pembusukan (dalam situasi ideal, hal tersebut bahkan dapat dihilangkan) karena oksidasi dan kebakaran
- Mencegah pembukaan lahan baru dengan melibatkan masyarakat setempat dan menyediakan opsi mata pencaharian alternatif
- Rehabilitasi tutupan hutan
Namun, karena gambut terus-menerus terpapar udara saat terdegradasi, amatlah sulit untuk mempertahankan kondisi netral netto dengan hanya mencegah hilangnya karbon. Karena itu, perolehan karbon juga harus ditingkatkan dengan cara:
- Meningkatkan penyerapan melalui revegetasi
Dengan empat langkah ini, tujuan yang hendak dicapai adalah lahan gambut positif karbon.
Pengukuran dan pemantauan
Perhatian dan upaya pemantauan berkesinambungan diperlukan untuk mencapai tujuan kami.
Piezometer digunakan untuk mengukur tinggi permukaan air pada lahan gambut setiap minggu. Ketinggian air tidak hanya berfungsi sebagai indikator kerentanan gambut pada kebakaran di waktu tertentu, tetapi juga bisa digunakan sebagai gambaran kasar untuk memperkirakan seberapa banyak gambut yang terpapar pada oksigen dan terurai serta melepaskan karbon dan GRK lainnya, yang diukur dalam satuan setara karbon dioksida (CO2e).
Jika ketinggian air turun hingga tingkat tertentu, hal ini akan diinformasikan kepada tim perkebunan agar deteksi kebakaran dan kesiapan respons disiagakan. Langkah selanjutnya yang diambil adalah menyiagakan penjaga di menara pantau, patroli permanen (gabungan dengan warga masyarakat), dan penutupan gerbang air untuk mengatur ketinggian muka air di area gambut.
Tongkat pemantau turunnya permukaan tanah (subsidence pole) adalah alat lain yang digunakan untuk mengukur dan melakukan verifikasi kedalaman penurunan (amblesan) lahan gambut dari waktu ke waktu. Pengukuran ini dilakukan setiap bulan untuk memperkirakan hilangnya karbon melalui penguraian.
Jika lahan gambut dalam keadaan baik, tidak ada oksidasi/penurunan yang terjadi di luar penyusutan dan pembesaran musiman. Jika tidak dikelola dengan baik, lahan gambut akan mengalami penurunan ketinggian netto, yang menunjukkan CO2e telah terlepas dari lahan gambut yang terurai.
Yang terakhir, kami memiliki plot pengambilan sampel permanen untuk mengukur penambahan biomassa di atas tanah setiap tahun, termasuk pohon-pohon yang telah kami remajakan beserta revegetasi alami di lahan gambut. Data dari plot pengambilan sampel ini menunjukkan penyerapan CO2e dari atmosfer setiap tahunnya.

Kebakaran gambut dan dampaknya
Menjelang datangnya musim kemarau setiap tahun di Indonesia, Perusahaan meningkatkan kewaspadaan untuk mencegah timbulnya kebakaran di kawasan gambut. Kebakaran pada 2019 berdampak pada lahan gambut seluas 2.000 hektar di PT Agro Lestari Mandiri, dan kami telah melakukan kunjungan lapangan untuk mengumpulkan data primer guna menghitung hilangnya karbon di sana.
Analisis hasil temuan di lokasi secara faktual menunjukkan bahwa kebakaran tahun 2019 membawa akibat terbakarnya lebih sedikit biomassa, dan karena itu lebih sedikit pula emisi CO2e daripada yang semula diperkirakan. Hasil studi menunjukkan bekas kebakaran memiliki kedalaman rata-rata 3 cm di bawah tanah, yang masih di bawah proyeksi awal. Kemungkinan hal ini merupakan akibat kegiatan pembasahan kembali (re-wetting) dan pengendalian kebakaran. Tanpa inisiatif tersebut, lahan yang terdampak oleh kebakaran tersebut bisa jadi akan jauh lebih besar.
Untuk menghindari terulangnya insiden tahun lalu, Perusahaan telah memperkuat langkah-langkah berikut:
- Memperkuat pengelolaan air: Kami memberikan instruksi kerja yang lebih jelas sehingga begitu piezometer mencapai ketinggian air tertentu, petugas operasional harus segera memompa air dari sungai terdekat ke lahan gambut tersebut untuk menjaga kelembapannya.
- Revegetasi: Kami terus meremajakan pohon-pohon di kawasan gambut karena jika upaya revegetasi berhasil, perolehan karbon dari peningkatan biomassa akan melebihi kadar hilangnya karbon akibat kebakaran tahun lalu.
- Keterlibatan peran masyarakat yang lebih kuat: Upaya komunikasi dan sosialisasi untuk memberikan penerangan kepada masyarakat sekitar tentang bahaya metode pertanian tebang/bakar dilakukan lebih intensif, agar mereka berhenti membakar lahan gambut. Tetapi, dengan terjadinya pandemi COVID-19 tahun ini, Perusahaan terpaksa membatasi upayanya menjangkau masyarakat hanya pada komunitas tempat kami saat ini memiliki personel yang sudah ditempatkan

Tanggung jawab sepanjang tahun
Di bulan-bulan kering Juli hingga September, kebakaran dan kabut asap merupakan topik hangat di media. Anda mulai melihat artikel yang membahas bagaimana persiapan pemerintah dan perusahaan. Namun, yang mungkin luput dari perhatian adalah pekerjaan untuk mencegah kebakaran berlangsung sepanjang tahun dan tidak hanya dilakukan menjelang musim kemarau. Dari perhatian yang kami curahkan ke lahan gambut, berbagai segi Program Desa Makmur Peduli Api, hingga penyusunan materi edukasi baru untuk anak sekolah, inisiatif Perusahaan menunjukkan komitmen untuk menghapus ancaman kebakaran di dalam dan di sekitar area konsesi.
Terkadang, tidak peduli betapapun bagusnya persiapan kita, ada saja unsur yang tidak mendukung (misalnyawarga desa yang kurang berhati-hati, kelangkaan air). Sayangnya, itulah yang terjadi di Indonesia dan lahan gambut kami pada 2019. Saat ini, Perusahaan terus mengawasi bagaimana pandemi COVID-19 berpengaruh pada perkembangan terkait musim kemarau tahun ini. Dengan investasi berkelanjutan dalam teknologi, dan tim-tim yang memantau titik panas serta ketinggian air, kami berharap dapat meraih hasil yang lebih positif di 2020.