Franciscus Didik Dwi Budi Saputro, Pemeta lahan, 36 tahun, Jakarta
“Saya merasa banyak orang yang belum memahami tujuan sebenarnya dari sebuah peta. Ada yang hanya melihat peta seperti garis-garis pembatas pada sebuah halaman, dengan batas sungai, hutan, dan lokasi lainnya yang tidak berubah. Bagi saya, sebagai orang yang membantu masyarakat memetakan lahan mereka, maksud sebenarnya dari sebuah peta adalah memberikan kejelasan dan kepastian bagi penggunanya– siapa yang memiliki hak atas lahan tertentu dan apakah hak-hak ini berbenturan dengan pendapat orang lain. Proses membuat peta, diluar dari peta itu sendiri, merupakan aktivitas yang bernilai tinggi. Dengan mendengarkan dan berbicara pada setiap orang, kegiatan ini dapat menyatukan masyarakat, bahkan dengan mereka yang tidak mendukung rencana perkebunan. Pemeta lahan terbaik adalah mereka yang dapat melakukan pendekatan dengan seluruh unsur masyarakat. Menerima masukan masyarakat merupakan hal yang penting karena dengan cara itulah kami juga dapat memahami aspirasi masyarakat.

Pemetaan lahan bukanlah proses yang mudah. Bisa jadi masyarakat berpandangan bahwa, “Selama ini kami hidup tanpa peta, jadi untuk apa berubah”, namun tugas saya adalah meyakinkan mereka tentang manfaat pemetaan, pendefinisian, membangun kesepakatan, dan memberikan perlindungan terhadap klaim-klaim lahan. Beberapa anggota masyarakat melihat manfaat pemetaan lahan adalah membantu mereka memperoleh sertifikasi keberlanjutan. Sebagian lainnya menyadari bahwa pemetaan dapat membantu mencegah timbulnya masalah di masa depan karena masyarakat terus bertumbuh dan berubah.
Saya telah bekerja di Riau dan Kalimantan, dan telah menempuh perjalanan setidaknya seribu kilometer sebagai seorang pemeta lahan di Sinar Mas Agribusiness and Food. Bekerja di Kalimantan sedikit lebih menantang karena kondisi lahannya yang relatif masih belum dikembangkan di pulau ini membuat harga lahan masyarakat relatif lebih rendah dibandingkan kawasan lainnya yang lebih maju. Kondisi ini berarti lebih sulit untuk meyakinkan masyarakat untuk terlibat secara aktif di dalam proses pemetaan lahan karena tak sedikit yang berpandangan bahwa cara yang lebih mudah adalah dengan membeli lebih banyak lahan . Hal ini dapat menimbulkan masalah di kemudian hari ketika perkebunan dibuka dan berjalan, sehingga di area tersebut terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan.

Proyek terakhir saya membawa saya ke sebuah komunitas perkebunan di Riau yang melibatkan hampir seratus orang petani di lahan dengan luas tak lebih dari 200 hektar. Ada banyak pandangan dan pendapat yang perlu diakomodasi di dalam sebuah peta. Tetapi saya mencintai perkerjaan saya—di mana lagi Anda bekerja dan menerima upah untuk berjalan-jalan dan menyatukan diri Anda dengan orang-orang, budaya, dan tradisi yang baru?”
Baca lebih lanjut tentang partisipatif perencanaan konservasi dan masyarakat kemitraan yang dilakukan Sinar Mas Agribusiness and Food di sini.
Temukan berbagai cerita luar biasa dari keseharian mereka yang berkarya dalam menghasilkan minyak kelapa sawit di sini